MENGAPA kalau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, termasuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) lebih-lebih yang bersama-sama, melakukan studi banding ke luar negeri, kota atau daerah lain selalu disambut masyarakat dengan cibiran sinis ? Studi Banding itu artinya apa sih? Studi banding (comparison study) biasa dilakukan untuk maksud peningkatan mutu, perluasan usaha, perbaikan sistem, penentuan kebijakan baru, perbaikan peraturan perundangan, dan lain-lan.
Kegiatan studi banding dilakukan oleh kelompok kepentingan untuk mengunjungi atau menemui obyek tertentu yang sudah disiapkan dan berlangsung dalam waktu relatif singkat. Intinya adalah untuk membandingkan kondisi obyek studi di tempat lain dengan kondisi yang ada di tempat sendiri. Hasilnya berupa pumpunan data dan informasi sebagai bahan acuan dalam perumusan konsep yang diinginkan. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, nampaknya studi banding masih dianggap “mewah”. Hal ini dikarenakan biaya cukup besar yang harus dikeluarkan termasuk untuk ongkos perjalanan. Apalagi bila obyek/lokasi yang dituju berada di luar negeri. Studi banding ke luar negeri yang dilakukan DPR RI beberapa waktu lalu sempat menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat. Peserta studi banding DPR ke luar negeri terdiri dari anggota Komisi terkait atau gabungan. Wajar kiranya bila hal tersebut menjadi isu nasional, berhubung biaya untuk keperluan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias uang rakyat.
Di sisi lain, negeri kita masih memerlukan dana besar untuk pembangunan prasarana serta berbagai langkah kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Sedangkan posisi keuangan negara saat ini sedang sulit dan kondisi ekonomi rakyat juga makin melemah. Kritik yang dilontarkan masyarakat juga cukup tajam, yaitu bahwa DPR dinilai tidak memiliki sense of crisis. Alasan DPR untuk studi banding ke luar negeri pada dasarnya cukup relevan, karena mereka harus mengaktualisasikan misi serta tugas dan kewajiban yang diemban sebagai legislator alias pembuat undang-undang (UU). Sebagai perangkat demokrasi pada negara yang relatif masih muda, DPR memang perlu belajar banyak dari negara lain yang sudah mapan. Namun apabila studi banding dilakukan hanya sekadar untuk pengumpulan informasi, sungguh sangat disayangkan. Karena di era globalisasi ini mudah diperoleh informasi melalui jaringan IT (Information Technology). Sedangkan bagi setiap anggota DPR telah diberikan insentif yang cukup untuk keperluan tersebut.
Pada dasarnya yang diperlukan DPR adalah informasi dari tangan pertama, termasuk serangkaian diskusi intensif dengan pihak obyek studi. Sayangnya sebagian masyarakat beranggapan bahwa studi banding oleh anggota DPR hanya untuk pelesir ke luar negeri dan dinilai kurang bermanfaat. Faktanya memang beberapa produk UU bermasalah sehingga perlu dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di antaranya adalah UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pendidikan, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Alhasil banyak waktu, tenaga dan biaya terbuang sia-sia. Yang sedang dituntut adalah agar produk legislasi DPR menjadi lebih berbobot. Namun yang terjadi justru banyak produk UU dikecam dan ditolak oleh berabgai kelompok masyarakat, karena kurang memerhatikan aspirasi masyarakat. Padahal sewaktu RUU masih dibicarakan di DPR telah mendapat reaksi keras dari masyarakat yang secara kualitatif berpijak kepada jiwa UUD (1945). Akibat terjadi kebuntuan, maka timbul sejumlah demonstrasi. Contoh mutakhir adalah saat disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan UU Mahkamah Agung. Hal serupa juga terjadi sewaktu UU Pornografi disahkan. Melalui berbagai macam perundangan yang berbobot, dan bukan semata-mata hasil kolaboratif kiranya dapat diharapan langkah perbaikan relung-relung ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain bagi Indonesia yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Semoga DPR maupun pemerintah tidak pernah berpikir untuk menambah beban terhadap bangsa sendiri. Rakyat sudah kelewat capai dan cukup berat didera oleh krisis yang berkepanjangan. Ongkos kemerdekaan adalah mahal, namun akan lebih mahal lagi bila kemerdekaan itu belum sepenuhnya dapat dinikmati. Tidak ada harapan lain, semoga kualitas anggota legislatif hasil Pemilu 2009 mendatang akan lebih baik dan tidak terjadi lagi bongkar pasang dalam proses pembentukan perundang-undangan.
sumber : asaborneo.blogspot.com/
Kegiatan studi banding dilakukan oleh kelompok kepentingan untuk mengunjungi atau menemui obyek tertentu yang sudah disiapkan dan berlangsung dalam waktu relatif singkat. Intinya adalah untuk membandingkan kondisi obyek studi di tempat lain dengan kondisi yang ada di tempat sendiri. Hasilnya berupa pumpunan data dan informasi sebagai bahan acuan dalam perumusan konsep yang diinginkan. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, nampaknya studi banding masih dianggap “mewah”. Hal ini dikarenakan biaya cukup besar yang harus dikeluarkan termasuk untuk ongkos perjalanan. Apalagi bila obyek/lokasi yang dituju berada di luar negeri. Studi banding ke luar negeri yang dilakukan DPR RI beberapa waktu lalu sempat menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat. Peserta studi banding DPR ke luar negeri terdiri dari anggota Komisi terkait atau gabungan. Wajar kiranya bila hal tersebut menjadi isu nasional, berhubung biaya untuk keperluan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias uang rakyat.
Di sisi lain, negeri kita masih memerlukan dana besar untuk pembangunan prasarana serta berbagai langkah kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Sedangkan posisi keuangan negara saat ini sedang sulit dan kondisi ekonomi rakyat juga makin melemah. Kritik yang dilontarkan masyarakat juga cukup tajam, yaitu bahwa DPR dinilai tidak memiliki sense of crisis. Alasan DPR untuk studi banding ke luar negeri pada dasarnya cukup relevan, karena mereka harus mengaktualisasikan misi serta tugas dan kewajiban yang diemban sebagai legislator alias pembuat undang-undang (UU). Sebagai perangkat demokrasi pada negara yang relatif masih muda, DPR memang perlu belajar banyak dari negara lain yang sudah mapan. Namun apabila studi banding dilakukan hanya sekadar untuk pengumpulan informasi, sungguh sangat disayangkan. Karena di era globalisasi ini mudah diperoleh informasi melalui jaringan IT (Information Technology). Sedangkan bagi setiap anggota DPR telah diberikan insentif yang cukup untuk keperluan tersebut.
Pada dasarnya yang diperlukan DPR adalah informasi dari tangan pertama, termasuk serangkaian diskusi intensif dengan pihak obyek studi. Sayangnya sebagian masyarakat beranggapan bahwa studi banding oleh anggota DPR hanya untuk pelesir ke luar negeri dan dinilai kurang bermanfaat. Faktanya memang beberapa produk UU bermasalah sehingga perlu dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di antaranya adalah UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pendidikan, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Alhasil banyak waktu, tenaga dan biaya terbuang sia-sia. Yang sedang dituntut adalah agar produk legislasi DPR menjadi lebih berbobot. Namun yang terjadi justru banyak produk UU dikecam dan ditolak oleh berabgai kelompok masyarakat, karena kurang memerhatikan aspirasi masyarakat. Padahal sewaktu RUU masih dibicarakan di DPR telah mendapat reaksi keras dari masyarakat yang secara kualitatif berpijak kepada jiwa UUD (1945). Akibat terjadi kebuntuan, maka timbul sejumlah demonstrasi. Contoh mutakhir adalah saat disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan UU Mahkamah Agung. Hal serupa juga terjadi sewaktu UU Pornografi disahkan. Melalui berbagai macam perundangan yang berbobot, dan bukan semata-mata hasil kolaboratif kiranya dapat diharapan langkah perbaikan relung-relung ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain bagi Indonesia yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Semoga DPR maupun pemerintah tidak pernah berpikir untuk menambah beban terhadap bangsa sendiri. Rakyat sudah kelewat capai dan cukup berat didera oleh krisis yang berkepanjangan. Ongkos kemerdekaan adalah mahal, namun akan lebih mahal lagi bila kemerdekaan itu belum sepenuhnya dapat dinikmati. Tidak ada harapan lain, semoga kualitas anggota legislatif hasil Pemilu 2009 mendatang akan lebih baik dan tidak terjadi lagi bongkar pasang dalam proses pembentukan perundang-undangan.
sumber : asaborneo.blogspot.com/