Mengubah yang tak mungkin

Sebagai wartawan, tadinya, ia bergaji 17 juta sebulan di sebua media massa nasioal. Tapi, dia justru memutuskan keluar untuk mandiri. Jatuh bangun dia hadapi. Inilah kisahnya


Usaha baru masih dalam rencana, pekerjaan mapan saya tinggalkan. Keputusan ‘gila’, barangkali. Betapa tidak, gaji saya Rp 17 juta perbulan plus sejumlah fasilitas menggiurkan.


Bagaimanapun, keputusan saya sudah bulat. Di mata saya, menjadi pengusaha lebih menjanjikan. Tentu tidak ada yang mudah. Apalagi saya tak punya pengalaman sama sekali, kecuali sebagai wartawan. Tapi saya yakin bisa, asal kerja keras.


Peluang pertama yang saya tangkap penyanyi asal Pasuruan yang dianggap kontrovesrial. Ia saya kontrak manggung di Sidoarjo, Jember dan Banyuwangi. Namanya menjadi jaminan, melejit lewat goyang ngebornya. Jadi, keuntungannya sudah di pelupuk mata.


Manusia punya rencana, Allah jualah yang menentukan. Bukannya untung, saya malah buntung (rugi) Rp 25 juta! Penontonnya yang hadir kurang dari target. "Dan lagi, acaramu tidak barokah. Goyangnya mengundang shahwat, haram ditonton," kata ustadz saya. Alamaaak, sudah rugi berdosa lagi.


Maka, tak ingin menambah dosa, saya memeras otak mencari bisnis baru yang bersih dan barakah. Lirik sana lirik sini, akhirnya saya menemukan sebuah real estate mangkrak di Surabaya. Berniat mengakusisi, saya pun melangkah mencari informasi. Celakanya, informasi yang saya dapat semuanya tidak menyenangkan. Perusahaan itu terbelit persoalan yang komplek, terutama hutangnya segunung. Sudah ditawarkan ke mana-mana, tidak ada yang mau.


Ah, masak sih tidak ada peluang sedikitpun. Saya penasaran. Nabi Isa as ketika melintas di sebuah jalan bersama beberapa sahabatnya, di suatu tempat, menjumpai bangkai seekor keledai. Bau busuk membuat para sahabat menutup hidung seraya bergumam.


Apa kata Nabi Isa? "Lihatlah, betapa putihnya gigi keledai itu!"


Saya merenung. Jadi, dari sesuatu yang terlihat busuk pun kita masih selalu bisa melihat sesuatu yang baik. Semuanya bergantung pada sudut pandang dan cara kita mempersepsi.


Kisah itu menginspirasi saya ketika menyimak berbagai masalah yang tengah membelit perusahaan real estate yang lagi saya timang-timang itu. Dari tumpukan masalah itu, saya melihat masih ada secercah cahaya. Lokasinya lumayan bagus. Dengan demikian, kalau saya mampu mengatasi berbagai persoalan yang super rumit ini, insya Allah saya tidak akan begitu sulit memasarkannya.


Rasa optimis muncul dalam benak saya. Tapi, begitu perusahaan itu saya akusisi, segudang masalah menghadang. Hari-hari pertama masuk kantor, banyak orang datang. Hampir semuanya marah-marah. Mulai dari aliran listrik, saluran air yang macet, dan paling berat soal hutang. Dana Rp 900 juta yang kami siapkan ludes untuk nomboki (membayar) hutang itu. Sampai-sampai saya sebagai direktur tak mampu beli pulsa handphone, karena kas benar-benar terkuras habis. Selesai?


Belum. Hutangnya masih setumpuk. Tapi di sinilah saya merasakan tangan-tangan Allah. Rupanya macam-macam, kadang tiba-tiba masuk uang dari penjualan rumah. Kadang juga si penagih bersedia ditunda pembayarannya. Belasan kali saya merasakan bantuan Allah itu.


Makanya, setiap terbentur suatu masalah saya selalu bilang kepada kawan-kawan, "Insya Allah, ada jalan keluarnya." Bukankah setiap dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan? Kuncinya, selain kerja keras dan sabar adalah memohon pertolongan Allah.


Kasus penyanyi 'ngebor' itu memberi pelajaran berharga kepada saya.


Sebelum mengakusisi, saya minta petunjuk kepada Allah, lewat shalat istiharah. Doa saya sederhana saja, "Ya Allah, kalau Engkau meridhai saya menangani perusahaan ini, berilah saya jalan. Tapi bila engkau tidak ridha, jauhkanlah saya darinya."


Saya yakin, seberat apapun masalahnya, bila Allah membantu pasti ada jalan keluarnya. Itulah yang saya rasakan.


Kini, 2 tahun berjalan, penghasilan saya lebih besar dari yang saya dapat dari Kompas-Gramedia dengan masa kerja 17 tahun. (Basuki Subianto, seperti dituturkan dalam peluncuran buku ‘Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin, akhir Januari lalu. Tulisan ini dimuat di Majalah Hidayatullah edisi Pebruari 2005).

blog comments powered by Disqus