Mereka lebih dahulu masuk surga, dan hisab mereka di akhirat lebih ringan dibanding lainnya
Hidayatullah.com--Usai bincang-bincang di salah satu radio di Surabaya, Bu Eep dan Zainab siap menjemputku dengan motor ke Kecamatan Medokan, Surabaya. Di pagi yang masih berkabut itu, aku melewati sebuah empang luas bersebelahan dengan gedung bertuliskan, Gedung Yayasan Kasih.
Di sepanjang jalan kiri dan kanan nampak sederetan rumah-rumah gubuk, petak kecil dengan berdinding triplek (gedek), dan seng diselimuti debu dan nampak kusam. Tak lupa plang-plang bertuliskan jasa ahli pijat atau ahli bangunan terpampang berjejer.
Tepat di sebuah tikungan jalan, nampak sebuah bangunan semi permanen dengan halaman luas berisikan tumpukan sampah yang sudah diikat. Gunungan sampah serta susunan karung goni memenuhi halaman ini.
"Ini tempatnya para pumulung ya bu," tanyaku. "Iya Teh, para pemulung ini menyetor ke sini lalu mereka pilih dan pilah lalu diikat, nanti dijual ke penampungnya," ujar bu Aep.
Momen itu tak kusia-siakan untuk menjepret dan mengambil gambar.
Kami tiba di Medokan tepat pada waktunya. Sesampai di salah satu rumah paling bagus (untuk kawasan kumuh), beberapa ibu telah menanti kedatangan kami. Air minum kemasan plastik dan jajanan kecil ikut menanti disantap. Sambil berkenalan sejenak, aku menikmati kopi tubruk. Usai menyeruput kopi tubruk yang ikut menyegarkan badanku, kami sepakat jalan-jalan di sekitar Kecamatan Medokan untuk melihat dari dekat kehidupan penduduk di bagian Kota Surabaya ini.
Rumah tinggal mereka boleh dibilang hanyalah rumah petak atau gubuk terbuat dari kayu, papan atau bambu. Sebagian ditambal dengan seng hasil dari memulung. Ada kursi jok mobil yang sudah lusuh dan nampak busanya telah habis.
Seorang ibu muda yang tengah menggendong anaknya yang balita, senyum menyambut kami. Di halaman samping ia tengah menanak nasi dengan tungku api menggunakan kayu bakar.
Kami singgah ke salah satu rumah keluarga untuk menjenguk salah seorang keluarganya yang tengah berbaring sakit. Ia sedang tergolek di kasur tua sembari mengerang kesakitan, mungkin sedang sakit demam. “Mau ke dokter, tidak ada uang,“ katanya. Belum lagi harus menebus obat. Rumahnya sangat pengap, gelap, dan tidak menyehatkan.
Lantainya dibuat dari sisa pecahan keramik. Warna-warni layaknya mozaik. Di dapur ada bak dan ember besar hitam berisi air yang tengah diendapkan, yang nantinya mereka gunakan untuk masak atau mandi. Tungku api dengan kayu bakar tengah menyala. Kayu api itulah yang mereka gunakan, sebagai gantinya kompor minyak tanah. Dari rumah itu, kami berpindah mengunjungi rumah lain.
Pemandangan tungku dengan menggunakan kayu bakar seperti ini hampir ada di setiap rumah. Praktis, bahan bakar murah sebagai ganti minyak tanah yang mahal.
Kami singgah di rumah lain, rumah Bu Sri. Usai sholat, kami berbincang sambil menikmati pisang rebus. Bu Sri bercerita tentang kegiatan di musholla membina anak-anak yang jumlahnya sekitar lima puluh. Mereka merasa bahagia karena di desa itu sudah ada mushola walaupun tidak sempurna dan belum rampung. Mereka betul-betul memanfaatkan mushola tersebut setiap harinya, diisi dengan berbagai kegiatan sosial dan pengajian, utamanya kegiatan TPA bagi anak-anak yang dilakukan ba'da sholat Ashar. Menurut mereka, anak-anak harus mereka selamatkan aqidahnya.
Dengan bangga mereka mengatakan bahwa anak-anak sudah bisa menghafal Asmaul Husna, sifat-sifat dan nama-nama Allah. Mereka yakin dengan pengajian TPA dan hafalan Asmaul Husna bisa membentengi aqidah anak-anak.
"Jadi ibu sudah lihat sendiri ya kampung kami, ya seperti itu," ujar salah seorang ibu menjelaskan asal-muasal kampung itu serta kondisi penduduknya. "Konon, dulunya kawasan ini kosong saja, lalu kami diangkut ke sini. Eh dibuang ke sini deh," ujarnya. Saya agak terkejut mendengar kata itu.
"Ya kami adalah orang-orang yang terpinggirkan bu. Kami memang dulunya tinggal di pinggiran kota besar, lalu diangkut dengan truk terus dilepas di sini," katanya. "Ini karena kami dianggap merusak kecantikan kota. Jadi kami memang miskin sekali ibu, sangat miskin."
Ada sekitar 75 KK di tempat ini. Ada tukang bangunan, tukang batu, pembantu rumah tangga, tukang mengumpulkan sampah, dan jualan jamu. Tapi umumnya para pemulung.
Agenda tersembunyi
Kemiskinan, kekumuhan, dan keterbatasan ini, nampaknya ikut mengundang banyak pihak mengambil keuntungan. Seorang ibu bercerita mengenai berbagai hal, dari air minum, rumah yang pengap, kesulitan minyak tanah, dan banyaknya organisasi yang datang mengunjungi.
"Di kampung kami air susah bu. Kami pernah dapat tawaran dari salah satu bapak dan ada beberapa keluarga yang begitu giat membagikan macam-macam. Di antaranya alat untuk membersihkan air, tapi kami tolak saja, habis ada syaratnya,"� ujar bu Sri.
"Pokoknya tak nggendoli (pertahankan, red) aqidahku, wis gitu aja," ujar bu Timah lugas. "Biarin aku miskin dan aku selalu bilang sama suamiku supaya ndak terbujuk."
Timah mengaku, pendapatan suaminya tergolong sedikit. "Kalau yang lain bisa menghasilkan Rp 30 ribu sehari, suami saya cuma menghasilkan Rp 125 ribu seminggu," ujar wanita yang memiliki tiga orang anak anak ini. Suaminya bekerja sebagai penjaga perahu penyebrangan.
"Ndak ada orang lain mau kerja malam dengan duit kecil kaya gitu bu. Terus kalau siang sudah ndak bisa kerja apa-apa karena semalaman dia jaga perahu, jadi sudah kecapekan," tambahnya.
Kepalaku berhitung, dari total 125 ribu seminggu itu, berapa seharinya? Lalu bagaimana mereka bisa menafkahi keluarga yang berjumlah 5 kepala?
"Tapi Alhamdulillah ibu kami tetap bersyukur akan semua rejeki yang kami terima. Walau keluarga kami mesakat (miskin), kami tidak pernah mau nerima bantuan apapun, apalagi ada persyaratan dan harus tanda-tangan perjanjian untuk ganti agama," tambahnya lagi.
"Tapi saya ndak pernah minder dan berkecil hati ditakdirnya sebagai orang miskin. Apalagi menyesali nasib lho bu, ujar Timah sambil membenahi jilbabnya yang berwarna merah jambu.
Seolah berusaha membesarkan hati mereka, sesungguhnya aku ikut tersentak mendengar pernyataan Timah yang lugu dan rendah hati ini. Mendengar pernyataan Timah aku ingat sebuah hadist Nabi yang berbunyi, "Cintailah kaum fakir dan duduklah bersama mereka."
Kepadanya, aku ceritakan beberapa ayat yang menyatakan rasa cinta Allah SWT pada para fakir-miskin dan anak yatim. "Ya tentu saja orang miskin paling sabar, dan selalu ingat Allah," ujarku.
Aku membacakan mereka surat Al Kahfi 28. "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
"Ibu-ibu jangan merasa rendah dan kerdil hati karena miskin. Bisa jadi di depan pandangan manusia kita rendah, namun dipandangan Allah kita terhormat selama kita menjadi hambaNya yang taqwa,“ ujarku disambut wajah mereka dengan berbinar-binar.
"Teruskan bu, baru ini saya mendengar semacam ini," ujar mereka.
Aku menceritakan kisah kecintaan Allah dan bagaimana para fakir-miskin dimuliakan di hari pembalasan.
Saya baca cuplikan hadist yang diriwayatkan Alhasan. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: "Pada hari kiamat kelak akan dihadapkan seorang hamba, lalu Allah s.w.t. berkata lunak kepadanya sebagaimana seorang yang minta maaf kepada kawannya, maka Allah s.w.t. berfirman: "Demi kemuliaan dan kebesaranKu, Aku tidak menyingkirkan dunia daripadamu karena hinamu dalam pandanganKu, tetapi karena Aku telah menyediakan untukmu kemuliaan dan karunia. Keluarlah hai hambaKu ke barisan-barisan itu dan lihatlah siapa yang dahulu pernah memberi makanan atau pakaiannya kepadamu dengan ikhlas karenaKu." Maka peganglah tangannya dan ia hakmu, maka berjalanlah ia di tengah-tengah manusia yang sedang tenggelam dalam peluhnya, lalu melihat orang yang dahulu pernah berbuat baik kepadanya, lalu dipegang tangannya dan dimasukkan ke surga."
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: "Perbanyaklah kenalan orang-orang fakir miskin dan berbudilah kepada mereka karena mereka kelak akan mendapat kekuasaan." Sahabat bertanya: "Apakah kekuasaan mereka, ya Rasulullah?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Bila tiba hari kiamat maka dikatakan kepada mereka: "Perhatikan siapa yang dahulu pernah memberimu makanan atau minuman seteguk atau sehelai baju, maka peganglah tangannya dan tuntunlah ke surga."
Abul Laits berkata: "Ketahuilah bahwa bagi orang fakir miskin itu akan mendapat lima kemuliaan yaitu: Pahala amalnya lebih dari pahala amal orang-orang yang kaya dalam shalat, sedekah dan lain-lainnya. Mereka lebih dahulu masuk surga, dan hisab mereka di akhirat lebih ringan dibanding yang lainnya.
"Ibu-ibu akan menuntun orang-orang yang pernah memberi sedekah berupa makan dan minum, serta baju, dan akan menuntun mereka ke surga. Itu sangat luar biasa, ujarku memberi motivasi.
"Amien... amien ya Allah," jawab mereka serempak. Tak terasa air mata mereka dan air mataku ikut menetes, mungkin terharu dan berbaur rasa bahagia. Bu Timah memelukku sangat erat penuh haru. Aku pun ikut terharu menangis.
Akhirnya aku pamit dan kami berpisah. "Ya Allah semoga mereka, orang-orang fakir nan miskin yang pernah kita tolong dengan sedekah, kelak akan menolong dan menuntun kita ke surgaMu." (Riwayat Al-Hakim An-Nisaburi).
Hidayatullah.com--Usai bincang-bincang di salah satu radio di Surabaya, Bu Eep dan Zainab siap menjemputku dengan motor ke Kecamatan Medokan, Surabaya. Di pagi yang masih berkabut itu, aku melewati sebuah empang luas bersebelahan dengan gedung bertuliskan, Gedung Yayasan Kasih.
Di sepanjang jalan kiri dan kanan nampak sederetan rumah-rumah gubuk, petak kecil dengan berdinding triplek (gedek), dan seng diselimuti debu dan nampak kusam. Tak lupa plang-plang bertuliskan jasa ahli pijat atau ahli bangunan terpampang berjejer.
Tepat di sebuah tikungan jalan, nampak sebuah bangunan semi permanen dengan halaman luas berisikan tumpukan sampah yang sudah diikat. Gunungan sampah serta susunan karung goni memenuhi halaman ini.
"Ini tempatnya para pumulung ya bu," tanyaku. "Iya Teh, para pemulung ini menyetor ke sini lalu mereka pilih dan pilah lalu diikat, nanti dijual ke penampungnya," ujar bu Aep.
Momen itu tak kusia-siakan untuk menjepret dan mengambil gambar.
Kami tiba di Medokan tepat pada waktunya. Sesampai di salah satu rumah paling bagus (untuk kawasan kumuh), beberapa ibu telah menanti kedatangan kami. Air minum kemasan plastik dan jajanan kecil ikut menanti disantap. Sambil berkenalan sejenak, aku menikmati kopi tubruk. Usai menyeruput kopi tubruk yang ikut menyegarkan badanku, kami sepakat jalan-jalan di sekitar Kecamatan Medokan untuk melihat dari dekat kehidupan penduduk di bagian Kota Surabaya ini.
Rumah tinggal mereka boleh dibilang hanyalah rumah petak atau gubuk terbuat dari kayu, papan atau bambu. Sebagian ditambal dengan seng hasil dari memulung. Ada kursi jok mobil yang sudah lusuh dan nampak busanya telah habis.
Seorang ibu muda yang tengah menggendong anaknya yang balita, senyum menyambut kami. Di halaman samping ia tengah menanak nasi dengan tungku api menggunakan kayu bakar.
Kami singgah ke salah satu rumah keluarga untuk menjenguk salah seorang keluarganya yang tengah berbaring sakit. Ia sedang tergolek di kasur tua sembari mengerang kesakitan, mungkin sedang sakit demam. “Mau ke dokter, tidak ada uang,“ katanya. Belum lagi harus menebus obat. Rumahnya sangat pengap, gelap, dan tidak menyehatkan.
Lantainya dibuat dari sisa pecahan keramik. Warna-warni layaknya mozaik. Di dapur ada bak dan ember besar hitam berisi air yang tengah diendapkan, yang nantinya mereka gunakan untuk masak atau mandi. Tungku api dengan kayu bakar tengah menyala. Kayu api itulah yang mereka gunakan, sebagai gantinya kompor minyak tanah. Dari rumah itu, kami berpindah mengunjungi rumah lain.
Pemandangan tungku dengan menggunakan kayu bakar seperti ini hampir ada di setiap rumah. Praktis, bahan bakar murah sebagai ganti minyak tanah yang mahal.
Kami singgah di rumah lain, rumah Bu Sri. Usai sholat, kami berbincang sambil menikmati pisang rebus. Bu Sri bercerita tentang kegiatan di musholla membina anak-anak yang jumlahnya sekitar lima puluh. Mereka merasa bahagia karena di desa itu sudah ada mushola walaupun tidak sempurna dan belum rampung. Mereka betul-betul memanfaatkan mushola tersebut setiap harinya, diisi dengan berbagai kegiatan sosial dan pengajian, utamanya kegiatan TPA bagi anak-anak yang dilakukan ba'da sholat Ashar. Menurut mereka, anak-anak harus mereka selamatkan aqidahnya.
Dengan bangga mereka mengatakan bahwa anak-anak sudah bisa menghafal Asmaul Husna, sifat-sifat dan nama-nama Allah. Mereka yakin dengan pengajian TPA dan hafalan Asmaul Husna bisa membentengi aqidah anak-anak.
"Jadi ibu sudah lihat sendiri ya kampung kami, ya seperti itu," ujar salah seorang ibu menjelaskan asal-muasal kampung itu serta kondisi penduduknya. "Konon, dulunya kawasan ini kosong saja, lalu kami diangkut ke sini. Eh dibuang ke sini deh," ujarnya. Saya agak terkejut mendengar kata itu.
"Ya kami adalah orang-orang yang terpinggirkan bu. Kami memang dulunya tinggal di pinggiran kota besar, lalu diangkut dengan truk terus dilepas di sini," katanya. "Ini karena kami dianggap merusak kecantikan kota. Jadi kami memang miskin sekali ibu, sangat miskin."
Ada sekitar 75 KK di tempat ini. Ada tukang bangunan, tukang batu, pembantu rumah tangga, tukang mengumpulkan sampah, dan jualan jamu. Tapi umumnya para pemulung.
Agenda tersembunyi
Kemiskinan, kekumuhan, dan keterbatasan ini, nampaknya ikut mengundang banyak pihak mengambil keuntungan. Seorang ibu bercerita mengenai berbagai hal, dari air minum, rumah yang pengap, kesulitan minyak tanah, dan banyaknya organisasi yang datang mengunjungi.
"Di kampung kami air susah bu. Kami pernah dapat tawaran dari salah satu bapak dan ada beberapa keluarga yang begitu giat membagikan macam-macam. Di antaranya alat untuk membersihkan air, tapi kami tolak saja, habis ada syaratnya,"� ujar bu Sri.
"Pokoknya tak nggendoli (pertahankan, red) aqidahku, wis gitu aja," ujar bu Timah lugas. "Biarin aku miskin dan aku selalu bilang sama suamiku supaya ndak terbujuk."
Timah mengaku, pendapatan suaminya tergolong sedikit. "Kalau yang lain bisa menghasilkan Rp 30 ribu sehari, suami saya cuma menghasilkan Rp 125 ribu seminggu," ujar wanita yang memiliki tiga orang anak anak ini. Suaminya bekerja sebagai penjaga perahu penyebrangan.
"Ndak ada orang lain mau kerja malam dengan duit kecil kaya gitu bu. Terus kalau siang sudah ndak bisa kerja apa-apa karena semalaman dia jaga perahu, jadi sudah kecapekan," tambahnya.
Kepalaku berhitung, dari total 125 ribu seminggu itu, berapa seharinya? Lalu bagaimana mereka bisa menafkahi keluarga yang berjumlah 5 kepala?
"Tapi Alhamdulillah ibu kami tetap bersyukur akan semua rejeki yang kami terima. Walau keluarga kami mesakat (miskin), kami tidak pernah mau nerima bantuan apapun, apalagi ada persyaratan dan harus tanda-tangan perjanjian untuk ganti agama," tambahnya lagi.
"Tapi saya ndak pernah minder dan berkecil hati ditakdirnya sebagai orang miskin. Apalagi menyesali nasib lho bu, ujar Timah sambil membenahi jilbabnya yang berwarna merah jambu.
Seolah berusaha membesarkan hati mereka, sesungguhnya aku ikut tersentak mendengar pernyataan Timah yang lugu dan rendah hati ini. Mendengar pernyataan Timah aku ingat sebuah hadist Nabi yang berbunyi, "Cintailah kaum fakir dan duduklah bersama mereka."
Kepadanya, aku ceritakan beberapa ayat yang menyatakan rasa cinta Allah SWT pada para fakir-miskin dan anak yatim. "Ya tentu saja orang miskin paling sabar, dan selalu ingat Allah," ujarku.
Aku membacakan mereka surat Al Kahfi 28. "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
"Ibu-ibu jangan merasa rendah dan kerdil hati karena miskin. Bisa jadi di depan pandangan manusia kita rendah, namun dipandangan Allah kita terhormat selama kita menjadi hambaNya yang taqwa,“ ujarku disambut wajah mereka dengan berbinar-binar.
"Teruskan bu, baru ini saya mendengar semacam ini," ujar mereka.
Aku menceritakan kisah kecintaan Allah dan bagaimana para fakir-miskin dimuliakan di hari pembalasan.
Saya baca cuplikan hadist yang diriwayatkan Alhasan. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: "Pada hari kiamat kelak akan dihadapkan seorang hamba, lalu Allah s.w.t. berkata lunak kepadanya sebagaimana seorang yang minta maaf kepada kawannya, maka Allah s.w.t. berfirman: "Demi kemuliaan dan kebesaranKu, Aku tidak menyingkirkan dunia daripadamu karena hinamu dalam pandanganKu, tetapi karena Aku telah menyediakan untukmu kemuliaan dan karunia. Keluarlah hai hambaKu ke barisan-barisan itu dan lihatlah siapa yang dahulu pernah memberi makanan atau pakaiannya kepadamu dengan ikhlas karenaKu." Maka peganglah tangannya dan ia hakmu, maka berjalanlah ia di tengah-tengah manusia yang sedang tenggelam dalam peluhnya, lalu melihat orang yang dahulu pernah berbuat baik kepadanya, lalu dipegang tangannya dan dimasukkan ke surga."
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: "Perbanyaklah kenalan orang-orang fakir miskin dan berbudilah kepada mereka karena mereka kelak akan mendapat kekuasaan." Sahabat bertanya: "Apakah kekuasaan mereka, ya Rasulullah?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Bila tiba hari kiamat maka dikatakan kepada mereka: "Perhatikan siapa yang dahulu pernah memberimu makanan atau minuman seteguk atau sehelai baju, maka peganglah tangannya dan tuntunlah ke surga."
Abul Laits berkata: "Ketahuilah bahwa bagi orang fakir miskin itu akan mendapat lima kemuliaan yaitu: Pahala amalnya lebih dari pahala amal orang-orang yang kaya dalam shalat, sedekah dan lain-lainnya. Mereka lebih dahulu masuk surga, dan hisab mereka di akhirat lebih ringan dibanding yang lainnya.
"Ibu-ibu akan menuntun orang-orang yang pernah memberi sedekah berupa makan dan minum, serta baju, dan akan menuntun mereka ke surga. Itu sangat luar biasa, ujarku memberi motivasi.
"Amien... amien ya Allah," jawab mereka serempak. Tak terasa air mata mereka dan air mataku ikut menetes, mungkin terharu dan berbaur rasa bahagia. Bu Timah memelukku sangat erat penuh haru. Aku pun ikut terharu menangis.
Akhirnya aku pamit dan kami berpisah. "Ya Allah semoga mereka, orang-orang fakir nan miskin yang pernah kita tolong dengan sedekah, kelak akan menolong dan menuntun kita ke surgaMu." (Riwayat Al-Hakim An-Nisaburi).