Cerita dari Sumatera Barat
sumber: http://www.kaskus.us
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang,
yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo
alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut.
Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya
yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur
di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah
Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri
Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di
nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena
gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan,
dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato
seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang
Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato
sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima
pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku,
Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.
Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya
apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin”
sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal,
dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian
berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam
Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi
perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang
diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih
Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti
Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja
Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar
itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena
menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo
Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi,
tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan
oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku
untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung.
Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang
apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum
bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam
rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo
Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari
saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang
menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan
bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang
Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti,
sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti,
Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan
sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan
tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan
berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan
kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian
melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak
Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak
lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si
Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku
bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya
buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara
Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya
untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang
berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato
dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang
hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata
dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo.
Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua
Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk
membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah
dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat
Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato
melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti
Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi,
anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan
melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu
memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran
yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua
Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang,
yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak
menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan
Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang
kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut
menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang,
yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang
menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo
telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan
menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang
Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus
hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak
dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas
perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara
Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian
kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta
yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau
Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato
bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin
Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung.
Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika
Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku
meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan
dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi
Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo
Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut,
dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang
anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah
pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya:
siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo?
Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal
main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah
Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato
kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang
Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia
menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari
ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku
bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo
Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh
dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo
Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat,
mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam
duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato
lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang
sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di
udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke
langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato
membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang
Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat
dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di
bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu
memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut
Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang
mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai
raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik
Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato
memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang
Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato
kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari
perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan
Lenggang Alam.